Rabu, 22 Agustus 2012

PEMANFAATAN HASIL TES DAN NONTES UNTUK LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL

A. PENDAHULUAN
Tes dan nontes merupakan salah instrument untuk memahami individu dalam keseluruhan layanan konseling. Masing-masing instrument tersebut memiliki karakteristik dalam penggunaannya.
Goldman (1971:23) dalam hal ini memandang bahwa penggunaan tes untuk kepentingan konseling dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, untuk kepentingan informasi (for informational purpose), dan kedua, untuk kepentingan non informasi (for non informational purpose). Lebih lanjut Goldman menjelaskan bahwa Super (1957) dan Bordin (1955) menetapkan ada tiga kategori dalam tes untuk informasi yaitu: precounseling diagnostic information (informasi pre konseling untuk menetapkan diagnostik), information for counseling process itself (informasi yang digunakan untuk membantu pelaksanaan konseling itu sendiri)  dan information for postcounseling plans and actions (informasi untuk menetapkan rencana dan tindakan setelah konseling). Tes untuk kepentingan non informasi terdiri atas: simulating interest in areas not previously considered (merangsang minat terhadap bidang tertentu yang sebelumnya tidak ikut dipertimbangkan), laying a groundwork for later counseling (meletakkan dasar kerja konseling), learning experiences in decision-making (memperoleh pengalaman belajar membuat keputusan) dan facilitating conversation (penyediaan fasilitas percakapan dalam konseling).
Dalam pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah teknik non testing merupakan teknik utama yang harus dikuasai oleh seorang konselor sekolah. Pada umumnya konselor di sekolah lebih sering memahami individu dengan teknik non testing. Walaupun ada teknik testing untuk pemahaman individu, tetapi sebagai tes yang terstandar, validitas dan reliable teruji, teknik testing sejauh ini baru dapat memahami individu pada aspek inteligensi, bakat, minat dan kepribadian. Sementara dalam pengumpulan informasi tentang diri klien, konselor dihadapkan pada kenyataan yang lebih kompleks. Seperti aspek biofisiologis, biologis, sosial, kepribadian dan nilai-nilai klien yang dipengaruhi oleh budaya yang dapat menjadi penyebab masalah klien belum dapat diungkap dengan teknik testing.
Satu hal yang sangat mendasar, apa pun teknik yang digunakan konselor dalam memahami individu, pada hakekatnya adalah untuk memperoleh informasi sebagai bahan untuk mengambil keputusan. Hal ini senada dengan yang ditegaskan oleh Munandir (1996:165) bahwa, informasi adalah segala sesuatu yang membuat orang menjadi tahu tentang sesuatu. Segala apa yang berasal dari luar itu masuk ke dalam diri untuk diolah dan disimpan di dalam sistem ingatan kita, sehingga informasi kemudian menjadi pengetahuan bagi kita tentang sesuatu. Setelah menjadi pengetahuan bagi kita, informasi merupakan bahan yang kita hadapi berasal dari dalam dan/atau luar diri kita untuk mengambil keputusan. Hasil suatu tes dan/atau nontes sebagai bahan informasi merupakan suatu hal penting dalam mengambil keputusan.
Informasi yang diperoleh konselor merupakan rujukan untuk membantu klien menentukan pilihan serta merupakan upaya mencari jawaban atas persoalan “Apa yang harus saya lakukan?” Apabila pilihan itu menyangkut bidang pendidikan mungkin persoalannya akan banyak berkaitan dengan : “Program studi manakah yang harus saya pilih sesuai dengan bakat dan minatku?” Demikian pula jika berkenaan dengan bidang jabatan (karier) mungkin pertanyaan yang muncul berkaitan dengan : “Jabatan apakah yang sesuai dengan bakat dan minatku?” “Bagaimanakah saya memperoleh jabatan yang sesuai dengan cita-cita, bakat dan minatku?” Program studi dan jabatan yang bermacam-macam merupakan bahan informasi bagi seseorang untuk dipilih. Pilihan seseorang atas informasi yang diperolehnya merupakan keputusan, dan proses konseling satu di antaranya tidak mungkin menghindari tahap pembuatan keputusan.

B. TEKNIK TES DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
Dalam pelayanan bimbingan dan konseling, pada umumnya tes yang digunakan untuk memperoleh data klien adalah tes inteligensi, tes bakat, tes kepribadian (minat, kecenderungan kepribadian), dan tes prestasi belajar.
Hasil tes akan mempunyai makna sebagai informasi bagi klien jika tes tersebut dianalisis dan dinterpretasi, dalam arti tidak hanya berhenti pada penyajian sekor yang diperoleh seorang klien. Untuk kepentingan konseling, hasil tes dapat digunakan sebelum konseling, pada saat proses konseling, dan setelah konseling sebagaimana dikatakan oleh Super dan Bordin (dalam Goldman 1971:23). Pada tahap sebelum konseling hasil informasi tes digunakan konselor sebagai bahan pertimbangan (a) menentukan jenis layanan apakah yang akan diberikan konselor kepada klien, (b) untuk menentukan fokus masalah yang dialami klien, (c) sebagai salah satu bahan diagnosis dari proses yang berkesinambungan dan dipadukan dengan hasil analisis yang lain --- misalnya informasi dari teknik non testing : observasi, wawancara, sosiometri, kuesioner, biografi. Pada tahap proses konseling informasi hasil tes digunakan untuk menafsirkan prognosis dengan memberikan alternatif-alternatif tindakan tentang pendekatan, metode, teknik, dan alat mana yang digunakan dalam upaya membantu pemecahan masalah yang dialami klien. Berdasarkan hasil tes konselor mendapatkan pelengkap data khususnya mengenai sifat-sifat kepribadian klien yang selama ini belum dapat terungkap melalui teknik non tes, sehingga diharapkan hasil informasi tes tersebut dapat membantu kerangka berpikir konselor di dalam merefleksi perasaan klien. Di samping itu informasi hasil tes disampaikan kepada klien dengan harapan klien lebih mengenali dirinya sendiri sehingga klien mampu mengembangkan harapan-harapan yang realistis dalam proses konseling. Pada tahap akhir konseling informasi hasil tes digunakan untuk memberikan bantuan dalam membuat keputusan-keputusan dan rencana-rencana untuk masa depan dengan alternatif-alternatif tindakan secara realistis. Selain itu juga merupakan sumbangan yang berarti bagi klien untuk proses perencanaan dan pilihan tindak lanjut, berkaitan tentang dirinya sendiri dalam hubungannya dengan fakta sekarang yang ada.

C. TEKNIK NON TES DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
Konselor pada umumnya memahami dan terampil menggunakan teknik non tes dalam melakukan pelayanan bimbingan dan konseling. Teknik non tes dimaksud antara lain observasi, kuesioner, wawancara, inventori (DCM, AUM, ITP), sosiometri. Konselor sejak kuliah sudah berlatih secara intensif menyusun dan menggunakan teknik non tes untuk memahami individu dalam konteks pelayanan bimbingan dan konseling. Hal tersebut berlanjut sampai mereka bekerja di lapangan. Sementara di sisi lain keterampilan menggunakan teknik tes sangat terbatas karena tes terstandar sudah siap pakai, dan penggunaannya terikat kode etik yang ketat sebagaimana disebutkan dalam Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia (PB ABKIN, 2006):
Suatu jenis tes hanya diberikan oleh konselor yang berwewenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya. Konselor wajib selalu memeriksa dirinya apakah mempunyai wewenang yang dimaksud.
a.   Testing dilakukan bila diperlukan data yang lebih luas tentang sifat atau ciri kepribadian subjek untuk kepentingan pelayanan.
b.   Konselor wajib memberikan orientasi yang tepat kepada klien dan orang tua mengenai alasan digunakannya tes disamping arti dan kegunaannya.
c.   Penggunaan suatu jenis tes wajib mengikuti secara ketat pedoman atau petunjuk yang berlaku bagi tes tersebut.
d.  Data hasil testing wajib diintegrasikan dengan informasi lain yang telah diperoleh dari klien sendiri atau dari sumber lain. Dalam hal ini data hasil testing wajib diperlakukan setara dengan data dan informasi lain tentang klien.
e.   Hasil testing hanya diberitahukan kepada pihak lain sejauh ada hubungannya dengan usaha bantuan kepada klien.
Rambu-rambu tersebut menyebabkan pembelajaran calon konselor berbeda dengan teman-temannya di program studi Psikologi, yang dalam batas tertentu mereka memperoleh mata kuliah konstruksi tes. Namun demikian, karena dalam pembelajaran calon konselor lebih menekankan penguasaan konsep dan praksis teknik non tes, sudah barang tentu konselor semestinya terampil menggunakan teknik non tes.
Keterampilan konselor dalam teknik non tes semisal observasi, kuesioner, wawancara, inventori (DCM, AUM, ITP), sosiometri; diperoleh mulai dari memahami konsepnya, kekhasan tiap metode, menyusun instrumen, melakukan pengumpulan data dengan metode tersebut, menganalisis dan menginterpretasi data, menggunakan hasil praktik teknik non tes untuk pelayanan bimbingan dan konseling.
Aplikasi instrumentasi teknik non tes oleh konselor pada umumnya dilakukan secara terpadu, tidak menggunakan metode tunggal. Karena pada umumnya untuk memahami individu secara utuh: potensinya, masalahnya, dan kemungkinan pengembangan pribadinya tidak dapat diperoleh dari satu metode saja. Misalnya observasi tidak menjangkau data latar belakang keluarga yang lebih tepat diungkap melalui kuesioner, sebaliknya kuesioner tidak bisa mencatat aktivitas klien “secara on the spot” ketika mengikuti kegiatan tertentu di sekolah; wawancara bisa lebih mendalami latar belakang mengapa seorang siswa memilih dan menolak temannya satu kelas dari pada sekedar alasan memilih dan menolak temannya yang tertulis dalam angket sosiometri.

D. IMPLEMENTASI TEKNIK TES DAN NON TES DALAM LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL
Pada suatu hari konselor SMA Pringgodani Kudus didatangi oleh Arimbi siswa kelas X.3. Arimbi setelah menerima laporan hasil psikotes ternyata mengalami konflik. Rekomendasi psikologis yang disarankan untuknya adalah dengan urutan prioritas jurusan Bahasa, IPS, dan IPA. Ia merasa kecewa karena harapannya tidak sesuai dengan kenyataan yang digambarkan pada psikotes. Sejak itu ia sering mengalami konflik batin, mau belajar lebih rajin ataukah biasa saja? Perilaku yang nampak di kelas antara lain sering bengong, tampangnya kusut, enggan bergaul dengan teman sekelas, cenderung sering tidak mengerjakan PR jika dibandingkan dengan sebelum menerima hasil psikotes.
Perilaku Arimbi yang berubah sejak itu, menarik perhatian para guru mata pelajaran dan wali kelas. Beberapa orang guru dan wali kelas kemudian menyampaikan kepada konselor tentang perubahan perilaku Arimbi.
Konselor merancang untuk memberikan layanan konseling individual kepada Arimbi setelah memperoleh masukan dari beberapa guru dan wali kelas X.3. Dari pertemuan awal diperoleh gambaran:
(1)     Arimbi merupakan tipe anak yang tidak mau menerima begitu saja apa yang diputuskan baginya. Ia merasa bahwa ia mampu dalam bidang IPA, IPS dan Bahasa sama baiknya. Tetapi jika ia dijuruskan ke Bahasa merupakan siksaan baginya. Ia ingin jadi dokter karena ia sering sakit, tetapi takut dengan dokter. Jika ia menjadi dokter maka ia dapat mengobati dirinya sendiri. Hasil studi awal konselor terhadap Arimbi atas kasus ini diperoleh simpulan bahwa di satu sisi Arimbi punya ambisi cukup besar untuk mewujudkan keinginannya, kemauan belajarnya cukup tinggi, pergaulannya luas karena sikapnya supel, ia disukai teman-temannya karena senang membantu teman yang kesulitan antara lain dengan mengajak belajar kelompok; di sisi lain ia tidak suka jika orang lain memutuskan sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya, tidak suka dikritik, mudah kecewa terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Dinamika psikisnya menghadapi keputusan penjurusan cenderung negatif, sehingga menimbulkan konflik pada dirinya. Konflik itu muncul karena ia ingin masuk IPA, tetapi ia diputuskan masuk Bahasa sebagai prioritas I.
(2)     Konflik yang dialami oleh Arimbi dirasakan cukup mengganggu oleh guru-guru, wali kelas, teman sekelas, dan orang tua. Karena cenderung sering tidak mengerjakan PR, guru-guru mengalami kesulitan untuk memberikan motivasi anak lainnya sebab Arimbi sering mendorong teman-temannya untuk mencoba menuliskan hasil PRnya di papan tulis. Teman-teman sekelas kehilangan sumber informasi dan sumber belajar, karena tidak mau mengerjakan PR maka Arimbi pun tidak mau membantu temannya menyelsaikan soal-soal PR. Sementara itu orang tua tidak tahu bagaimana harus bersikap menghadapi Arimbi di rumah yang sekarang lebih banyak nyungsep di kamar, gairah makan menurun, kehilangan canda rianya bersama adik-adiknya, menghindari berbicara dengan orang tua.

Konselor memutuskan untuk memberikan layanan konseling individual kepada Arimbi setelah memperoleh masukan dari guru, wali kelas, teman, dan orang tua.

Identifikasi
Arimbi berasal dari keluarga yang cukup baik sosial ekonominya. Suasana keluarga hangat, demokratis --- terbuka dalam membahas persoalan yang dihadapi oleh anggota keluarga. Pergaulannya dengan guru, teman sekolah dan di kampung sangat baik. Hampir semua orang di rumah (tetangganya) maupun di sekolah sangat suka dengan Arimbi.
Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang harapan dan cita-citanya, konselor mempelajari catatan akademiknya pada semester 1 sebagaimana tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1 Nilai Arimbi Kelas X.3 Semester 1 Tahun Pelajaran 2010/2011

Komponen

 Nilai
A.   Mata Pelajaran

1.      Pendidikan Agama
8
2.      Pendidikan Kewarganegaraan
8
3.      Bahasa  Indonesia
9
4.      Bahasa Inggris
9
5.      Matematika
8
6.   Fisika
7.   Biologi
8.   Kimia
7
8
7
9.   Sejarah
10. Geografi
11. Ekonomi
12. Sosiologi
9
8
8
8
13. Seni Budaya
9
14.  Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
8
15.  Teknologi Informasi dan Komunikasi 
16.  Keterampilan /Bahasa Asing
9
8
B.   Muatan Lokal
17. Bahasa Jawa 

7
C.   Pengembangan Diri
A


Proses Konseling
Konselor setelah mempelajar latar belakang Arimbi, memutuskan untuk menggunakan pendekatan Client-Centered. Pendekatan ini dipilih konselor untuk membantu memecahkan masalah Arimbi (Gunarsa, 1992:127-128) karena secara spesifik :
(1)     Perhatian diarahkan pada pribadi klien dan bukan kepada masalahnya. Tujuannya bukan memecahkan suatu masalah tertentu, tetapi membantu seseorang untuk tumbuh, sehingga ia bisa mengatasi masalah, baik masalah sekarang maupun masalah yang akan datang dengan cara yang lebih baik. Jika seseorang berhasil mengatasi masalah dalam suasana yang lebih bebas, lebih bertanggungjawab, berkurang sikap ragu-ragunya, dengan cara yang lebih teratur, maka pada saat menghadapi masalah baru ia akan bisa mengatasinya dengan cara yang sama.
(2)      Penekanan lebih banyak terhadap faktor emosi, dari pada terhadap faktor intelek. Dalam kenyataannya perilaku Arimbi dipengaruhi oleh emosi daripada oleh pikiran. Arimbi bisa mengetahui bahwa perilakunya sebenarnya tidak baik, jadi secara rasional dan intelektual, ia mengetahui hal itu dan tidak boleh melakukan hal itu, tetapi kenyataannya lain. Pendekatan ini bekerja langsung terhadap kehidupan emosi dan perasaan yang nyata daripada berusaha mereroganisasikan faktor emosi melalui pendekatan intelektual,
(3)     Memberi tekanan yang lebih besar terhadap keadaan yang ada sekarang dari pada terhadap apa yang sudah lewat. Pola emosi yang diperlihatkan Arimbi sekarang ini sama saja dengan pola emosi yang sudah ada dalam sejarah pribadinya.
(4)     Penekanan pada hubungan terapetik itu sendiri sebagai tumbuhnya pengalaman. Di sini Arimbi belajar memahami diri sendiri, membuat keputusan sendiri, membuat keputusan yang penting dengan bebas dan bisa sukses berhubungan dengan orang lain secara lebih dewasa.
Mengacu dari Surya (1988:213) dan Gunarsa (1992:129-131), langkah-langkah yang ditempuh oleh konselor dalam membantu memecahkan masalah Arimbi adalah sebagai berikut :
(1)     Arimbi datang menemui konselor. Ia mengatakan bahwa ia mendapatkan saran dari guru, wali kelas, dan teman-temannya untuk minta jasa konseling kepada konselor. Konselor menciptakan situasi yang bebas dan permisif, sehingga ia memutuskan untuk melanjutkan konseling.
(2)     Situasi terapetik dimulai. Sejak saat itu Arimbi disadarkan bahwa konselor tidak mempunyai jawaban, tetapi melalui proses konseling Arimbi akan memperoleh sesuatu. Arimbi harus bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Konselor hanya sebagai fasilitator, sehingga bagaimana Arimbi terselesaikan masalahnya tergantung pada dirinya sendiri.
(3)     Konselor mendorong Arimbi untuk mengemukakan perasaannya secara bebas berkenaan dengan hasil psikotes untuk penetapan jurusan. Agar Arimbi dapat mengemukakan kekecewaannya, konflik batinnya, maka konselor secara wajar memperlihatkan sikap ramah, bersahabat, dan menerima klien apa adanya (congruence dan unconditional positive regard).
Arimbi menunjukkan hasil psikotes yang diperolehnya

Tabel 2 Profil Kecerdasan, Bakat dan Minat Arimbi






No.
Aspek Kecerdasan dan Bakat
NILAI
KLASIFIKASI

1
Kecerdasan Umum
80
Tinggi

2
Pemahaman Sosial
89
Tinggi

3
Kawasan Pengetahuan
75
Cukup Tinggi

4
Analogi Verbal
79
Cukup Tinggi

5
Logika Sosial
70
Cukup Tinggi

6
Pemahaman Numerik
69
Sedang

7
Logika Numerik
75
Cukup Tinggi

8
Kemampuan Analogi
80
Tinggi

9
Berpikir Induktif Deduktif
85
Tinggi

10
Persepsi Keruangan
75
Cukup Tinggi

11
KetepatanPresisi
75
Cukup Tinggi

Kemungkinan berhasil
IPA
77
Cukup Tinggi

IPS
78
Cukup Tinggi

Bahasa
81
Tinggi

No.
Aspek Minat
Nilai
Klasifikasi

1
Sosial
70
Cukup Tinggi

2
Bussines
79
Cukup Tinggi

3
Home Ekonomi
59
Agak Rendah

4
Secretary
80
Tinggi

5
Medical
69
Sedang

6
Matematika
70
Cukup Tinggi

7
Fisika
80
Tinggi

8
Biologi
89
Tinggi

9
Teknik
80
Tinggi

10
Kesehatan
90
Tinggi Sekali

11
Musik
69
Sedang

Kemungkinan berhasil
IPA
78
Cukup Tinggi

IPS
72
Cukup Tinggi

Bahasa
78
Cukup Tinggi

(4)     Konselor menerima, mengenal dan memahami Arimbi yang menggerutu, cemberut, menghentak-hentakkan kakinya, pendek kata semua perilaku negatifnya; kemudian merespon perilaku Arimbi. Konselor tidak perlu mengomentari bahwa sikapnya sekarang ini tidak benar, tidak sopan, dan sebagainya; tetapi cukup tersenyum simpul dan menunjukkan kepada Arimbi apa yang ada di balik ungkapan-ungkapan perasaanya itu, sehingga menimbulkan suasana klien dapat memahami dan menerima keadaan negatif atau tidak menyenangkan itu, tidak diproyeksikan kepada orang lain atau disembunyikan. Misalnya dengan mengatakan: “Anda nampak kecewa sekali, karena hasil psikotes Anda tidak sesuai dengan harapan dan keinginan Anda.” Dengan cara semacam itu maka klien tidak akan melakukan defense mechanism.
(5)     Ketika perasaan-perasaan negatif telah diungkapkan sepenuhnya, pada saat itu akan diikuti oleh ekspresi dari dorongan positif untuk berkembang lebih lanjut. Wujud dari kondisi positif adalah pernyataan Arimbi: “Saya kecewa sekali dijuruskan ke program Bahasa, rasa-rasanya masa depan saya suram. Saya tidak ingin menjadi sastrawan atau ahli bahasa. Saya hanya ingin menjadi dokter. Seandainya saya dapat masuk IPA, saya akan lebih tekun mempelajari Fisika, Kimia dan Biologi.” Hal ini merupakan peluang bagi klien untuk disembuhkan.
Konselor menceritakan hasil pengamatan yang dilakukan guru-guru selama Arimbi mengikuti pelajaran setelah menerima hasil psikotes yang cenderung menurun motivasi belajarnya, tidak mengerjakan PR dan lebih baik dihukum.
Konselor juga menceritakan hasil wawancara dengan teman-teman sekelas dan orang tuanya yang memberikan gambaran serupa dengan hasil observasi guru-guru mata pelajaran.
Hasil dokumentasi juga menunjukkan sejak SD, SMP, dan awal di SMA Arimbi sering memenangi lomba mengarang, membaca puisi, meskipun juga di kelas VI SD menang lomba mata pelajaran Matematika dan IPA, di kelas VIII SMP juga pernah menang lomba IPA.
(6)     Konselor memahami dan menerima perasaan-perasaan positif yang diungkap-kan Arimbi sebagaimana adanya, sama seperti menerima dan memahami ungkapan-ungkapan perasaan negatif Arimbi. “Anda ingin sekali masuk IPA, karena Anda ingin jadi dokter.” Perasaan positif tidak diterima oleh konselor sebagai sesuatu yang harus dipuji atau seperti layaknya sesuatu permintaan yang harus dipenuhi, melainkan sebagai sesuatu yang wajar yang ada pada diri pribadi seseorang. Dengan penerimaan seperti itulah klien belajar menyadari diri sendiri sebagaimana keadaan sebenarnya.
(7)     Pemahaman, pengenalan dan penerimaan tentang diri sendiri, adalah langkah berikutnya yang penting dari keseluruhan proses, yang menjadi dasar pada diri Arimbi untuk dapat maju ke tingkat yang baru dari integrasinya. Pada saat ini konselor sebagai fasilitator memimpin klien untuk melihat kenyataan dirinya dengan memahami dan mendiskusikan hasil psikotes dan nilai raportnya di kelas X semester I, hasil psikotesnya, dan data-data non tes yang diperoleh konselor.
Biarkan Arimbi menganalisisnya dan mengomentarinya. “Saya tahu dan saya kecewa sekali bahwa sekor-sekor saya untuk program IPA lebih jelek dibandingkan dengan sekor-sekor Bahasa dan IPS sebagaimana hasil psikotes saya. Tetapi saya rasa nilai-nilai raport saya tidak begitu jelek, paling tidak saya rasa saya dapat mengikuti pelajaran di kelas XI IPA jika saya masuk ke sana. Tetapi apakah itu mungkin?”, kata Arimbi. “Kenapa tidak,” kata konselor.
(8)     Bersama-sama dengan proses pemahaman ini adalah proses yang memperjelas kemungkinan-kemungkinan keputusan atau tindakan yang akan dilakukan Arimbi. Konselor mendengarkan dengan seksama kata-kata Arimbi: “Saya akan berjuang agar dapat masuk IPA, karena tadi Bapak mendukung keinginan saya, saya ada peluang masuk IPA jika raport saya pada semester kedua nilai-nilai IPAnya lebih baik dari semester pertama.” “Apa yang kamu lakukan untuk itu?”, tanya konselor. “Saya akan belajar sungguh-sungguh, saya akan ikut les privat untuk mata pelajaran Matematika, Fisika, Bilogi dan Kimia. Mungkin juga saya harus mengurangi, bahkan kalau perlu meninggalkan kegiatan saya di OSIS”, jawab Arimbi. “Apakah kamu tidak merasa rugi meninggalkan kegiatanmu di OSIS?”, tanya konselor. “Saya rasa tidak, karena saya ingin masuk IPA. Atau saya tetap mengikuti kegiatan OSIS tetapi yang aktivitasnya mengarah ke IPA seperti KIR”, jawab Arimbi mantap.
(9)     Tindakan positif. Suatu keputusan untuk melakukan tindakan yang nyata, yang positif, yang tumbuh dari dirinya sendiri. Klien mencoba memanifestasikan/mengaktualisasikan pilihannya itu dalam sikap dan tingkah lakunya. “Jika Bapak mengijinkan, demikian pula dengan guru-guru yang lain dan wali kelas, saya minta dimasukkan ke IPA”, kata Arimbi. “Kenapa tidak, asal nilai raportmu memenuhi syarat untuk itu”, kata konselor. “Baik Pak, saya akan berusaha sekuat tenaga”, timpal Arimbi.
(10) Langkah selanjutnya adalah perkembangan sikap dan perilaku Arimbi sejalan dengan perkembangan tilikan tentang dirinya. The self Arimbi telah terbentuk melalui pengalaman-pengalamannya baik yang berasal dari luar maupun yang dari dalam dirinya. Dari luar adalah pengalaman yang berupa dorongan dari orang lain dan kemungkinan untuk memenuhi keinginannya, sedangkan dari dalam berupa pengalaman konflik dan kekecewaan karena keinginannya terhambat tetapi pada akhirnya terbuka kesempatan untuk mencapainya. Arimbi merasa yakin akan kemampuannya untuk mengejar waktu yang tersisa dalam memenuhi keinginannya.
(11) Tingkah laku Arimbi makin bertambah terintegrasi dan pilihan-pilihan yang dilakukannya makin adekuat; kemandirian dan pengalaman dirinya makin meyakinkan. Ia berkata kepada konselor: “Saya merasa bahwa jalan yang akan saya tempuh sudah lapang dan jelas. Saya sudah tahu apa yang harus saya lakukan, dengan segala resikonya. Dan tentu saja saya tidak akan kecewa berat seperti sebelum pertemuan ini jika saya gagal, karena saya sudah berusaha semampu saya. Saya yakin saya bisa jika saya berusaha keras dan sungguh-sungguh”.
(12) Arimbi merasa bahwa bebannya suda ditanggalkan dan hubungan konseling harus segera diakhiri. Ia menghentikan hubungan terapetik dengan konselor. “Saya rasa, saya sudah merasa bebas dari masalah saya. Saya dapat melihat kenyataan tentang penjurusan saya, dan saya melihat ada peluang terbuka untuk saya ke jurusan IPA. Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak yang telah membantu memecahkan masalah saya”.

Konseling telah selesai. Arimbi telah menjadi individu yang kepribadiannya terintegrasi dan berdiri sendiri, ia telah bebas dari masalahnya. Konselor dan Arimbi melakukan kegiatannya masing-masing.


E. AKHIR KATA
Konselor telah melakukan konseling individual dengan dukungan data yang diperoleh dari teknik tes (tes inteligensi/kecerdasan, bakat dan minat) dan teknik non tes (observasi, wawancara, dokumentasi nilai raport). Kedua teknik tersebut telah bersinergi dengan baik untuk membantu klien memperoleh informasi yang jelas tentang dirinya, memahami dirinya, mengambil keputusan, dan pada akhirnya mampu memecahkan masalahnya.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Hariadi. 2011. Non Tes dalam Bimbingan dan Konseling. Tersedia on line di http://hariadimemed.blogspot.com/2011/07/non-tes-dalam-bimbingan-dan-konseling.html diunduh 28 Nopember 2011.

Goldman, L. (1971). Using Test in Counseling. Santa Monica, California: Goodyear Publishing. Co. Inc.

Gunarsa, Singgih D. 1992. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Himcyoo. 2011. Pemahaman Individu dengan Teknik Non Testing. Tersedia on line di http://himcyoo.wordpress.com/2011/02/22/pemahaman-individu-dengan-teknik-non-testing/ diunduh 28 Nopember 2011.

Munandir. 1996. Program Bimbingan Karier di Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.

PB ABKIN. 2006. Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia. Bandung: Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.

Rahardjo, Susilo. 2007. Pemahaman Individu II Tinjauan dari Segi Testing. Kudus: Program Studi Bimbingan dan Konsleing Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus.

Rahardjo, Susilo & Gudnanto. 2011. Pemahaman Individu Teknik Non Tes. Kudus: Nora Media Enterprise.

Surya, M. (1988). Dasar-Dasar Konseling Pendidikan (Teori dan Konsep), Yogyakarta : Kota Kembang.




Drs. Susilo Rahardjo

Selasa, 21 Agustus 2012

TERAPI KONSELING PERILAKU

1.      Latar Belakang Pendekatan Perilaku
Terapi perilaku (behavior therapy) dan pengubahan perilaku (behavior modification) atau pendekatan perilaku dalam konseling dan psikoterapi, adalah salah satu dari beberapa “revolusi” dalam dunia pengetahuan psikologi, khususnya konseling dan psikoterapi (Gunarsa, 1992:191). Revolusi-revolusi yang lain adalah psikoanalisis dan pendekatan berpusat pada klien. Pendekatan perilaku dianggap sebagai salah satu wujud revolusi dalam konseling dan psikoterapi karena ia mengembangkan teori dan praktik terapi yang khas, yaitu memandang tingkah laku manusia dipandang sebagai respon-respon terhadap stimuli --- tingkah laku merupakan hasil belajar, bukan determinan sebagaimana pandangan psikoanalisis---, eksternal dan internal, dan karena itu tujuan konseling adalah sedapat mungkin untuk memodifikasi koneksi-koneksi dan metode stimulus-respon (S-R), jadi analog dengan psikologi eksperimental.
Pendekatan perilaku yang bersumber pada aliran Behaviorisme pada mulanya tumbuh subur di Amerika dengan tokohnya yang terkenal ekstrim, yaitu John Broadus Watson. Pendekatan ini menitikberatkan peranan lingkungan, peranan dunia luar sebagai faktor penting di mana seseorang dipengaruhi, seseorang belajar. Aliran ini memandang perkembangan seseorang sebagai “seorang tumbuh menjadi seperti apa yang terbentuk oleh lingkungan”. Peranan lingkungan dijelaskan oleh Watson sebagai patently rejected the emphasis on heredity in explaining human characteristics and instead placed it all on environment. He even boasted that, if he were given ten healthy infants and allowed complete control over their environments, he could make any on of them a baker, banker, thief, carpenter, you name it (Reilly & Lewis 1983:98). Dengan demikian pendekatan ini memandang manusia sebagai organisme yang neutral-passive, lingkungan dan perlakuanlah yang dapat merubah tingkah laku seseorang. Ulmann dan Krasner (1965) menunjukkan banyak bukti tentang keefektifan pendekatan perilaku dengan menghimpun berbagai tulisan para ahli pendekatan perilaku dalam buku Case Studies in Behavior Modification.
Sejarah pendekatan perilaku dalam konseling atau konseling behavioral (Rosyidan, 1994:4-6) bermula pada Ivan Sechenov (1829-1905), bapak fisiologi Rusia. Struktur hipotetiknya dikembangkan sekitar 1863, yang memandang fungsi-fungsi otak sebagai pancaran refleks, yang mempunyai tiga komponen: input sensorik, proses, dan “efferent-outflow”. Menurut Sechenov, semua tingkah laku terdiri atas respon-respon kepada stimulasi-stimulasi, dengan interaksi-interaksi dari rangsangan dan hambatan yang beroperasi pada bagian sentral dari pancaran refleks. Dengan menggunakan model ini, Pavlov (1849-1936) memulai serangkaian eksperimen klasik di mana respon-respon air liur pada anjing dirangsang dengan berbagai stimuli. Pada eksperimen ini ia mendemonstrasikan banyak fenomena yang kemudian diperluas kepada semua tipe belajar. Penterjemahan karya Pavlov ke dalam bahasa Inggris tahun 1927 mendorong pengambilalihan pendekatan behavioristik dalam mempelajari psikologi di Amerika Serikat, dan kemudian dikenal sebagai kondisional klasik (classical conditioning). Implikasi teori Pavlov dalam konseling adalah perilaku konseli dapat dilatih dengan menggunakan koneksi antara stimulus dengan respon, perilaku yang tidak dikehendaki dilatih menjadi perilaku yang dikehendaki.
Hasil-hasil penelitian dan tulisan E.L. Thorndike (Gunarsa, 1992:192) mengenai proses belajar dengan hadiah yang menghasilkan hukum efek (law of effect) pada tahun 1898, 1911, 1913 juga memberikan sumbangan penting dalam pendekatan perilaku. Teori Thorndike tersebut selanjutnya dikenal sebagai kondisioning aktif (operant conditioning) dan perilaku instrumental. Implikasinya dalam konseling adalah dengan melakukan hukum efek, perilaku konseli yang tidak dikehendaki berubah menjadi perilaku yang dikehendaki.
Studi yang paling penting dalam psikologi dilakukan oleh Watson dan Rayner (1920), yang menggunakan seorang anak sebagai subjek untuk menunjukkan bahwa rasa takut itu dipelajari (conditioned). Penurunan dari saran-saran Watson dan Rayner menjadi teknik-teknik inti dalam konseling behavioral.
Penggunaan istilah behavioral counseling pertama kali dikemukakan Krumboltz dari Stanford University (1964). Pada dekade 50-an konseling dialami sebagai filsafat hidup yang menekankan pada segi hubungan dan setting wawancara. Konseling kurang memperhatikan metodologi ilmiah seperti observasi dan eksperimen. Hubungan konselor dan klien dipandang sebagai metode konseling atau hatinya konseling. Terapi behavioral telah menemukan perubahan-perubahan yang penting dan telah banyak berkembang. Terapi ini tidak lagi secara eksklusif berpijak pada teori belajar, dan juga bukan perangkat teknik yang didefinisikan secara sempit. Terapi behavioral kontemporer mencakup berbagai konseptualisasi, metode penelitian, dan prosedur penanganan untuk menjelaskan dan mengubah perilaku, dan juga perdebatan yang cukup seru tentang bukti adanya hasil yang diinginkan (Kadzin & Wilson, 1978 dalam Corey, 1995:413). Lazarus dianggap sebagai salah satu perintis dari terapi behavioral klinis. Oleh karena itu ia telah memberikan sumbangan dalam hal memperluas dasar konseptualnya dan memperkenalkan teknik klinis yang inovatif.
2.      Konsep-konsep Dasar Pendekatan Perilaku
Rosyidan (1994:-6-7) dan Natawidjaja (1987:192-196) nampaknya sepakat tentang konsep-konsep pokok atau konsep dasar dalam pendekatan perilaku itu, yaitu pemusatan pada perilaku yang tampak dan khusus, tujuan terapetik yang tepat, perumusan rancangan kegiatan dan penerapan metoda-metoda yang berorientasi tindakan, penilaian objektif terhadap hasil dan balikan.
Keempat konsep dasar dalam pendekatan perilaku, dipaparkan dalam uraian berikut ini.
2.1.     Pemusatan pada Perilaku yang Tampak dan Khusus
Pendekatan perilaku tidak didasari oleh teori tertentu yang khusus. Pendekatan ini merupakan pendekatan induktif yang menerapkan metoda  eksperimen di dalam proses terapetik. Pendeknya dapat dikatakan bahwa pendekatan ini merupakan model konseling yang mempunyai banyak teknik tetapi memiliki hanya sedikit konsep. Dalam hal ini Wolpe (1969) mengartikan terapi perilaku itu sebagai penggunaan prinsip-prinsip belajar yang disusun berdasarkan eksperimen untuk tujuan mengubah perilaku yang tidak sesuai.
Sesuai dengan semangat metode eksperimental, maka hal utama yang perlu diperhatikan dan dilakukan konselor dan klien dalam konseling perilaku itu adalah menyaring dan memisahkan perilaku yang bermasalah itu dan membataskan secara khusus perubahan apa yang dikehendaki. Dalam hal ini konselor konseling kelompok meminta para klien untuk mengkhususkan perilaku apa yang benar-benar ingin diubahnya, dan perilaku baru yang ingin diperolehnya. Deskripsi umum yang samar-samar tentang perilaku itu tidak bermanfaat untuk dijadikan titik pangkal dari konseling, dan oleh karena itu tidak dapat diterima sebagai pembatasan.
2.2.     Tujuan Terapetik yang tepat
Dalam kebanyakan konseling, tahap-tahap pertama dari kegiatan konseling kelompok diarahkan kepada perumusan pernyataan yang khusus mengenai tujuan pribadi yang ingin dicapai oleh setiap anggota kelompok. Hal ini berkenaan dengan perilaku kongkrit yang bermasalah yang ingin mereka pelajari selama berada dalam kelompok tersebut. Perilaku yang secara khas ingin mereka ubah mencakup: mengurangi kecemasan, menghilangkan fobi yang mengganggu fungsi mereka sebagai individu, mengurangi berat badan yang berlebihan, dan menghilangkan segala macam kecanduan (merokok, minum-minuman keras, dan obat bius). Keterampilan baru yang pada umumnya mereka ingin peroleh di antaranya adalah :
(1)   belajar bertanya secara jelas dan langsung mengenai apa yang mereka inginkan
(2)   memperoleh kebiasaan yang mengarah kepada kesantaian fisik dan psikologis
(3)   mampu mengatakan “tidak” tanpa perasaan bersalah
(4)   belajar bersifat tegas (assertive) tanpa menjadi agresif
(5)   mengembangkan metoda khusus untuk mengendalikan diri, seperti latihan secara teratur, mengendalikan pola jadwal makan, dan menghilangkan tekanan psikologis
(6)   pemantauan diri mengenai perilaku atau kognisinya sendiri sebagai jalan untuk mendatangkan perubahan
(7)   belajar memberikan dan menerima balikan yang positif dan negatif
(8)   mampu mengenal dan menantang pola pikir yang merusakkan diri sendiri atau pernyataan diri yang irasional
(9)   belajar tentang keterampilan sosial dan keterampilan berkomunikasi
(10)  mengembangkan strategi pemecahan masalah untuk menangani berbagai situasi yang dihadapi dalam kehidupan.
Dalam hal ini, tugas konselor kelompok adalah merinci dan memilih tujuan umum menjadi tujuan yang khusus, kongkrit, dan dapat diukur yang dapat ditelusuri dengan sistematik. Misalnya, apabiola seorang klien menyatakan bahwa dia ingin merasa lebih memadai dalam situasi-situasi sosial, maka konselor akan bertanya: “Dalam keadaan khusus yang bagaimana Anda merasa memadai? Dapatkah Anda memberikan contoh situasi seperti apa yang menyebabkan Anda merasa memadai? Dengan cara khusus manakah Anda ingin mengubah perilaku Anda?” Kelompok dapat menolong para anggotanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab itu, sehingga perilaku yang diinginkan menjadi jelas dan kongkrit bagi klien maupun bagi anggota kelompok lainnya.
2.3.     Perumusan Rancangan Kegiatan dan Penerapan Metoda-metoda yang Berorientasi Tindakan
Setelah para anggota mengkhususkan tujuan-tujuannya, maka kelompok bersama konselor membuat rancangan kegiatan kelompook untuk memberi perlakuan (treatment) untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan itu. Dalam beberapa bentuk konseling kelompok, perencanaan kegiatan itu tidak dilakukan atau tidak dipersoalkan, karena kelompok semacam itu telah dirancang untuk suatu tujuan tertentu, misalnya kelompok yang dibentuk khusus untuk belajar mengendalikan perilaku tertentu, kelompok untuk kecemasan menghadapi ujian, dan kelompok untuk melatih kemampuan bertindak tegas. Walaupun demikian, dalam kegiatan kelompok yang dirancang untuk bidang masalah tertentu sekalipun, pemilihan metoda perilaku yang tepat masih perlu dipertimbangkan, agar para peserta benar-benar dapat mencapai tujuan terapetiknya.
Strategi yang pada umumnya digunakan adalah yang mendorong para anggota berinteraksi dalam kelompok itu, seperti pemberian contoh, gladi perilaku, latihan, pekerjaan rumah, pemberian balikan, dan pemberian informasi.
Teknik-teknik perilaku itu berorientasi tindakan, oleh karena itu, para anggota kelompok diharapkan melakukan sesuatu, bukan hanya memperhatikan secara pasif dan terlena dalam introspeksi saja. Meskipun wawasan kognitif dan emosional dihargai dalam pendekatan ini, dan mendengarkan secara aktif serta pemahaman empatik dianggap sebagai keterampilan konseling yang penting, akan tetapi klien harus diajar untuk melakukan tindakan khusus apabila perubahan perilaku klien itu diinginkan.
2.4.     Penilaian Objektif terhadap Hasil dan Balikan
Hasil konseling kelompok dapat dinilai secara objektif, karena segalanya sudah diatur secara khusus. Sasaran perilaku yang hendak diubah sudah didefinisikan secara jelas, tujuan perlakuan telah dirumuskan secara khusus, dan prosedur terapetik pun telah dirinci secara sistematik. Penilaian kemajuan konseling kelompok merupakan suatu proses yang terus menerus dan berkesinambungan, karena penialain itu bukan saja diarahkan kepada keberhasilan dan efektivitas prosedur teknik yang digunakan. Misalnya, apabila suatu kelompok akan menagdakan pertemuan selama 20 minggu dengan tujuan untuk belajar bersantai dan mengurangi tekanan psikologis, maka data dasarnya bisanya diambil pada pertemuan-pertemuan pertama, yaitu dengan mengukur kadar tekanan psikologis pada setiap anggota kelompok. Kemudian, pada pertemuan-pertemuan selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap sampai berapa jauh perilaku para anggota itu telah berubah, yaitu berdasarkan pengukuran terhadap kadar tekanan psikologis pada akhir setiap pertemuan. Dengan demikian, setiap anggota kelompok dapat mengetahui keberhasilan upayanya dalam mencapai tujuan perilaku yang telah ditentukan itu. Pemberian balikan kepada para anggota secara terus menerus merupakan bagian yang penting dalam konseling kelompok berdasarkan pendekatan perilaku ini.
Keputusan untuk menggunakan sutau teknik didasarkan atas keberhasilan setiap teknik itu dalam mendatangkan hasil konseling kelompok, yaitu tercapainya tujuan terapetik yang telah dirumuskan pada awal kegiatan konseling kelompok.
3.      Penerapan Konsep Dasar Pendekatan Perilaku
Tingkah laku  manusia diperoleh dari berajar, dan proses terbentuknya kepribadian adalah melalui proses kemasakan dan belajar. Hal ini merupakan asumsi dasar pendekatan behavioral mengenai perkembangan kepribadian, bahwa atas dasar landasannya pada teori belajar, maka berpendapat terbentuknya tingkah laku, baik positif maupun negatif dari belajar. Dengan demikian penerapan konsep dasar pendekatan perilaku dapat didekati dengan teori-teori belajar.
      Tidak ada teori belajar yang dapat digunakan untuk mendiskripsikan tentang klien, melainkan memberikan dasar bagi perkembangan teknik konseling. Oleh karena itu bila ingin mengetahui tentang manusia dapat didasarkan pada teori belajar. Thoresen (dalam Rosjidan, 1994 : 8) meninjau tingkah laku manusia dari dua sisi, yang disebut antecedents dan consequences; yang pertama mengacu pada hal yang menyebabkan tingkah laku dan kedua pada akibat yang mengikuti tingkah laku. Teori belajar dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk yaitu : classical conditioning, operant conditioning, dan social learning atau observational learning.
3.1.    Classical Conditioning
Classical conditioning memusatkan perhatian pada pengawal tingkah laku. Ia dapat dikata pula sebagai respondent conditioning, sebab pengawal (antecedent) merupakan stimulus. Pusat perhatian dari conditioning ini pada stimulus yang menimbulkan respon reflektif. Teori belajar ini dilandasi dengan penemuan Pavlov dan Watson.
3.2.    Operant Conditioning
Operant conditioning memusatkan pada akibat dari tingkah laku. Oleh karena itu disebut pula instrumental conditioning. Kejadian yang mengawali tingkah laku dipandang  sebagai  cues yang memberikan informasi tentang datangnya akibat (consequnces). Dalam pengertian ini pengawal tingkah laku tidak mengontrol respon, tetapi akan memberikan informasi prediktif tentang  akibat tingkah laku. Perubahan tingkah laku  klien merupakan hasil alternasi consequence. Arsitek teori belajar ini adalah B.F. Skinner. Ia percaya bahwa tingkah laku yang paling berarti adalah operant dan tingkah laku ini dikontrol oleh akibat-akibatnya. Sebagai akibat diistilahkan reinforcers atau punishers.
3.3.    Social Learning
Belajar sosial juga disebut belajar observasional, modeling atau belajar imitatif. Social learning merupakan pandangan integratif, dan mengganggap bahwa lingkungan internal dan eksternal klien saling mempengaruhi. Kejadian-kejadian belajar sebagai hasil interaksi ketergantungan kedua lingkungan tersebut. Mischel (dalam Rosjidan 1994 :8) mengemukakan bahwa tingkah laku dipengaruhi oleh lima variabel yaitu kompetensi, strategi, dan susunan pribadi, harapan-harapan hasil, nilai stimulus, sistem dan rencana pengaturan diri.
3.4.    Komponen-komponen Belajar
Selanjutnya komponen-komponen belajar merupakan bagian vital bagi konseling behavioral. Komponen belajar merupakan konsep yang memberikan dasar untuk memahami bagaimana klien belajar bertingkah laku dan mempersembahkan strategi-strategi teknik untuk membentu klien belajar tingkah laku-tingkah laku baru.
3.4.1.       Reinforcement
Konsep reinforcement dikembangkan atas dasar teori operant conditioning. Reinforcement menunjukkan proses belajar dimana akibat yang menyertai yang menyertai tingkah laku menjadi meningkat. Ada dua kategori reinforcer, (1) primary reinforcer yang memiliki nilai perangsang tanpa perlu latihan terlebih dahulu, seperti air, makanan dan item lain yang vital bagi hidup; (2) scondary reinforcer merupakan hasil pengalaman belajar yang bersyarat, seperti hadiah, uang dan sebagainya.
3.4.2.      Punishment
Penampakan akibat yang dipandang sebagai penghapusan kejadian akibat dan dirasa memuaskan adalah punishment (hukuman). Hasil punishment melawan reinforcement. Dalam kehidupan kegunaan punishment terbatas. Tingkah laku yang distop dengan hukuman sering kali muncul kembali dan kadang-kadang malah lebih kuat dari tingkah laku sebelum hukuman  diberikan. Klien dapat melakukan kegiatan-kegiatannya yang dilakukan di luar kontrol lembaga yang memberi hukuman. Sedapat-dapatnya pengurangan tingkah laku harus menggunakan proses-proses selain hukuman.
3.4.3.      Extinction
Berakhirnya pengaruh reinforcement bagi sebuah penampilan respon disebut extinction. Extenction merupakan prosedur yang di  dalamnya consequence tidak tersedia mengikuti respon. Prosedur-prosedur extinction telah banyak digunakan dalam berbagai situasi, seperti klien yang berbicara negatif, isolasi sosial, dan berbagai kebiasaan klien.
3.4.4.      Generalization
Generalization adalah memakai respon yang dipelajari dalam kaitannya dengan suatu stimulus , untuk merespon stimulus lain. Semakin mirip kedua stimulus itu, semakin besar kemungkinan terjadinya pengulangan respon. Generalisasi bisa menguntungkan karena individu dapat mencoba merespon situasi baru tanpa harus belajar membuat respon yang sama sekali baru terlebih dahulu. Tetapi generalisasi akan merugikan kalau terjadi pada event negatif yang digeneralisir menjadi semua yang mirip dengan event itu dinilai negatif. Hal ini akan menghambat individu mempelajari respon yang tepat.
3.4.5.      Discrimination
Discrimination adalah kemampuan individu membedakan dua stimulus yang mirip. Diskriminasi ini dikembangkan melalui proses membedakan reinforcement. Orang merasa perlu merespon stimulus dengan kecermatan tertentu karena kecermatan itu akan menghasilkan reinforcement kepuasan. Tingkat diskriminasi tergantung pada seberapa penting suatu situasi harus dibedakan oleh individu. Seorang kameramen akan peka terhadap perubahan cuaca, agar foto yang dihasilkannya memuaskan, dan seorang musisi peka terhadap perbedaan irama.
3.4.6.      Shaping
Shaping adalah gerakan tingkah laku yang sederhana menuju ke tingkah laku kompleks. Untuk membantu klien mempelajari tingkah laku yang kompleks, diupayakan dengan mempelajari sedikit demi sedikit atau komponen demi komponen. Konsep-konsep belajar tersebut di atas digunakan untuk membantu klien dalam proses shaping.
3.4.7.      Vicarious Processes
Pengaruh konsep-konsep nomor 1 sampai dengan nomor 6 di atas dapat diberikan melalui mengamati respon-respon orang lain. Modeling sebagai bentuk vicarious processes.   
4.      Prosedur Konseling Kelompok Berdasarkan Pendekatan Perilaku
Prosedur konseling kelompok berdasarkan pendekatan perilaku menurut Natawidjaya (1987 : 200 – 211) bisa dijabarkan dalam beberapa tahapan, antara lain ; tahap permulaan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir.
    4.1. Tahap Permulaan
            Tahap permulaan meliputi kegiatan-kegiatan sebelum terbentuknya kelompok dan pertemuan-pertemuan pertama dari keseluruhan rencana konseling. Pada umumnya calon anggota kelompok hanya mengetahui sedikit sasja mengenai hal-hal yang berkaitan dengan proses kelompok. Oleh karena itu, sebelum, para calon anggota itu memasuki kelompok konseling yang sesungguhnya, terlebih dahulu diberi informasi yang cukup memadai mengenai proses kelompok. Kegiatan sebelum proses konseling dalam pertemuan awal diisi dengan penjajagan harapan para calon anggota dan membantu mereka untuk menentukan sendiri apakah mereka akan mengikuti kelompok konseling itu. Mereka yang memutuskan untuk mengikuti kelompok akan menerima kontrak kegiatan. kontrak tertulis itu menjelaskan apa yang diharapkan konselor kelompok dari para anggota selama kegiatan berlangsung, sebaliknya apa yang dapat diharapkan para anggota kelompok dari konselor. Kontrak yang dibuat berdasarkan perundingan antara konselor dengan para  anggota kelompok itu memperlihatkan harapan yang timbal balik antara kedua belah pihak.
            Pada tahap permulaan ini, kelompok memusatkan perhatian pada pembentukan kepaduan kelompok, pembiasaan terhadap struktur konseling kelompok dan penemuan perilaku bermasalah yang akan diperbaiki. Untuk membangun kepaduan kelompok, maka pada tahap ini konselor mempunyai tugas untuk membangun kepercayaan. Konselor harus berusaha supaya kelompok menjadi menarik bagi anggotanya, menciptakan suasana kelompok sedemikian rupa sehingga sehingga para anggota memiliki kompetensi sosial yang memadai, mempunyai peranan dalam kelompok. Berangsur-angsur secara tepat waktu dan suasana konselor mendelegasikan tanggungjawab kepemimpinan kepada salah seorang anggota, serta menciptakan situasi sedemikian rupa sehingga setiap anggota dapat berfungsi sebagai mitra terapeutik bagi  anggota yang lainnya, mengendalikan konflik kelompok, dan menemukan cara melibatkan semua anggota dalam interaksi kelompok. Asesmen merupakan unsur yang sangat penting pada tahap permulaan ini, karena sebelum tindakan bantuan dimulai dalam kelompok, maka permasalahan anggota-anggota kelompok harus dijabarkan dalam bentuk perilaku yang khusus. Masalah yang kompleks tidak dihindari, tetapi dipilih dan dirinci menjadi komponen-komponen perilaku yang lebih khusus, sehingga  semua masalah itu dapat ditangani dengan memadai di dalam kegiatan kelompok.
            Setelah perilaku bermasalah itu dibataskan secara khusus, perilaku itu diobservasi dan diukur oleh para anggota kelompok. Prosedur ini memberikan data dasar atau informasi perilaku sebelum perlakuan bantuan dilakukan, yang dapat digunakan sebagai rujukan untuk membandingkan perilaku sebelum dan sesudah perlakuan bantuan itu. Seperti halnya asesmen, pemantauan (proses pengumpulan data selama kegiatan kelompok) dilakukan secara berkesinambungan sepanjang kegiatan kelompok dan berakhir pada waktu wawancara dalam tindak lanjut. Konselor dan klien menggunakan data itu untuk menilai efektivitas dari teknik-teknik yang digunakan, pertemuan kelompok, dan pelaksanaan konselinh secara umum.
            Apabila data dasar telah terbentuk, maka proses perumusan tujuan dan pengembangan rancangan kegiatan bantuan dimulai. Para peserta diminta untuk merumuskan tujuan jangka panjang dan jangka menengah. Dengan keterlibatan para peserta dalam penentuan tujuan itu, maka mereka akan menjadi peserta aktif dan mengetahui proses pengembangan rencana kegiatan itu. Konselor mulai memilih strategi terapeutik yang cocok untuk mencapai tujuan konseling  secara optimal.
            Pembuatan kontrak tertulis sangat diperlukan karena akan menjadikan proses kegiatan dan bantuan lebih eksplisit yang disetujui oleh kedua belah pihak. Pembentukan kontrak tertulis itu bermanfaat, yaitu (1) secara etis, klien memahami secara jelas dan berhak untuk mengetahui sebelumnya tentang komitmen dirinya dengan kelompok; (2) kontrak yang tegas akan menimbulkan kepercayaan yang pada akhirnya akan memperlancar proses konseling; (3) kontrak yang dibuat bersama akan lebih menajamkan  kesadaran para peserta akan peranan yang harus dilakukan dalam keseluruhan kegiatan konseling; (4) kontrak yang jelas akan mengaitkan prosedur terapeutik khusus dengan tujuan yang ingin dicapai.
     4.2. Tahap Pelaksanaan
            Asesmen, pemantauan dan penilaian merupakan proses yang bersinambung selama keseluruhan proses konseling. Dengan demikian pada tahap pelaksanaanpun asesmen, pemantauan dan penilaian itu terus dilakukan oleh konselor bersama-sama dengan semua anggota kelompok, dengan tujuan seperti dikemukakan terdahulu. Berdasarkan penilaian yang terus menerus beserta balikannya kepada kelompok, maka konselor beserta para peserta dapat memperoleh bahan untuk memilih dan menentukan strstegi kegiatan lain yang lebih efektif. Adapun strategi-strategi kegiatan bantuan yang dapat digunakan dalam tahap pelaksanaan antara lain sebagai berikut:
     4.2.1. Reinforcement
Penguatan kembali merupakan prosedur intervensi yasng penting dalam konseling kelompok perilaku. Selain penguatan oleh konselor, terjadi pula penguatan dari para anggota peserta sendiri kepada peserta lainnya dengan cara penghargaan, persetujuan, dukungan, dan perhatian. Penguatan ini dapat dilakukan dengan meminta kepada para peserta pada permulaan setiap pertemuan untuk melaporkan hasil-hasil yang telah dicapai, sebaiknya hal-hal yang berkenaan dengan kegagalan tidak dilaporkan pada permulaan pertemuan. Laporan tentang keberhasilan dalam permulaan pertemuan ini memberikan penguatan kepada mereka yang telah memperoleh hasil yang baik dalam hidup sehari-hari dan menunjukkan kepada semua peserta bahwa perubahan itu mungkin pada seseorang. Laporan kemajuan ini, terutama sangat penting apabila para anggota telah memperlihatkan perilaku yang lebih baik, akan tetapi belum mencapai apa yang sebenarnya diharapkanoleh yang bersangkutan. Laporan kemajuan ini berguna pula bagi mereka yang perilakunya yang telah berubah itu tidak mendapat persetujuan dari lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam keadaan ini, penguatan kembali dan dukungan kelompok sangat penting artinya bagi klien yang bersangkutan, apabila dia ingin mempertahankan keberhasilannya.  
     4.2.2. Kontrak Kontingensi
Kontrak kontingensi menjelaskan perilaku yang harus dilakukan, perubahan, penghentian kegiatan; hadiah yang dihubungkan dengan pencapaian tujuan, dan kondisi-kondisi untuk menentukan pemberian hadiah-hadiah. Apabila mungkin kontrak semacam ini berisikan pula batas waktu untuk memperlihatkan perilaku yang dinginkan. Kontrak kontingensi ini biasanya digunakan untuk anak-anak, karena bagi orang dewasa hal ini dirasakan sebagai suatu yang merendahkan diri.
     4.2.3. Pemberian Contoh.
            Pemberian contoh dalam bentuk peranan merupakan alat mengajar yang sangat kuat yang digunakan dalam penyuluhan kelompok perilaku. Salah satu keunggulan konseling kelompok dibandingkan dengan konseling individual yang berorientasi pada pendekatan perilaku adalah bahwa suasana kelompok memberikan berbagai model sosial dan model peranan yang dapat ditiru oleh para peserta. Fungsi model ini ditampilkan baik oleh konselor maupun oleh para peserta sendiri bagi peserta lainnya.
            Ada beberapa ciri dari pola pemberian contoh yang efektif, yaitu : (1) model yang mempunyai kesamaan dengan pengamatnya (2) model yang mempunyai kedudukan dan prestise yang lebih tinggi; (3) model yang kompeten dalam penampilannya dan memperlihatkan kehangatan cenderung mempunyai pengaruh percontohan yang tinggi.
     4.2.4. Gladi Perilaku
            Kebanyakan prosedur konseling perilaku menuntut latihan dalam bentuk gladi. Tujuan utama dari gladi perilaku yaitu untuk mempersiapkan para klien supaya mampu melakukan atau menampilkan perilaku y6ang dikehendaki dan telah diperoleh dalam kelompok itu dalam suasana di luar  kelompok konseling. Dalam hal ini perilaku baru dipraktikkan dalam konteks yang aman yang mengumpamakan dunia luar yang sebenarnya. Dalam gladi perilaku itu, para peserta akan berlindung dari akibat yang merugikan dan juga akan mendapat penguatan dari konselor dan rekan-rekannya, pada gilirannya  hal ini akan meningkatkan dorongan bagi peserta untuk mencoba menampilkan perilaku baru itu dalam situasi kehidupan sehari-hari. Sebaiknya gladi perilaku baru itu dilakukan dalam suasana yang sangat mirip dengan lingkungan klien dalam kehidupannya di luar kelompok. Dengan demikian akan terjadi generalisasi yang maksimum dari keadaan kelompok kepada keadaan lingkungan klien sendiri.
Gladi perilaku ini sangat baik untuk mengajarkan ketrampilan sosial. Dalam gladi perilaku, para peserta tidak hanya mengetahui dan memahami apa yang harus mereka lakukan dan katakan, melainkan mereka dapat mencoba dan mendapat koreksi melalui balikan dari konseling, peserta lain, bahkan dari peserta yang bersangkutan sendiri. Penilaian dan balikan subjektif dari diri sendiri itu dapat diperoleh apabila gladi perilaku itu menggunakan alat-alat seperti pita video.
4.2.5. Melatih
       Sebagai tambahan terhadap penggunaan percontohan dan gladi perilaku, kadang-kadang para peserta membutuhkan latihan khusus. Ini merupakan suatu teknik untuk memberikan informasi kepada para peserta tentang ketepatan perilaku yang mereka tampilkan. Latihan khusus ini sebaiknya dilakukan sejalan dengan gladi perilaku. Dalam hal ini pelatih duduk di belakang peserta yang sedang melakukan gladi perilaku. Apabila salah seorang peserta mogok dan tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, maka pelatih  atau salah seorang peserta lain yang dapat bertindak sebagai pelatih, membisikkan saran tertentu kepada yang bersangkutan. Latihan ini sedapat mungkin secepatnya dikurangi, supaya peserta dapat segera mampu melakukan peranan atau perilakunya secara mandiri, sebelum ia mencobanya dalam suasana kehidupan sehari-hari diluar kelompok.
4.2.6. Penataan Kembali kognisi
       Proses kognitif yang terjadi didalam diri individu seringkali mempunyai implikasi terhadap perubahan perilaku. Para anggota kelompok seringkali menampilkan pemikiran yang cenderung mengalahkan diri sendiri atau berbicara sendiri mengenai hal-hal yang irasional apabila mereka menghadapi  situasi yang menekan. Penataan kembali kognisi adalah proses menemukan dan menilai kognisi seseorang, memahami dampak negatif pemikiran tertentu terhadap perilaku, dan belajar mengganti kognisi tersebut dengan pemikiran yang lebih realistik dan lebih cocok. Penataan kembali kognisi ini dapat dilakukan dengan jalan memberikan informasi yang korektif, belajar mengendalikan pemikiran sendiri, menghilangkan keyakinan yang irasional, dan menandai kembali diri sendiri.
4.2.7. Pemecahan Masalah
       Pemecahan masalah adalah suatu pendekatan perilaku kognitif yang memungkinkan individu mengembangkan pola perilaku untuk menangani berbagai masalah. Tujuan utama dari pemecahan masalah adalah menemukan alternatif yang paling efektif untuk menangani situasi permasalahan dan memberikan latihan yang sistematik tentang keterampilan-keterampilan kognitif dan perilaku yang dapat membantu klien untuk secara mandiri menangani situasi permasalahan dalam dunia yang sesungguhnya.
4.3. Tahap Akhir
       Dalam tahap ini, konselor pertama-tama berusaha membantu klien mengalihkan perubahan yang telah diperoleh klien itu dalam kelompok kepada keadaan yang sebenarnya dalam lingkungan sehari-hari. Konselor kelompok perilaku tidak mengharapkan pengalihan atau generalisasi itu berlangsung secara kebetulan saja. Mereka merancang pertemuan sedemikian rupa sehingga pengalihan belajar dapat dimaksimumkan dan ketrampilan-ketrampilan yang baru diperoleh akan dipertahankan setelah kegiatan kelompok seluruhnya berakhir.
       Pengalihan ketrampilan baru itu dapat dilakukan melalui kegiatan simulasi dengan menggunakan teknik gladi perilaku. Dalam simulasi ini perlu diatur sistem balikan yang terencana. Dengan bahan balikan itu peserta yang bersangkutan akan memperoleh penguatan kembali bagi ketrampilan-ketrampilan yang baru diperolehnya dalam kegiatan kelompok itu.
       Pada tahap akhir ini pun dilakukan perencanaan untuk tindak lanjut kegiatan kelompok. Tindak lanjut ini penting dilakukan untuk mengetahui sampai dimana perilaku-perilaku baru itu dapat diterapkan dengan berhasil dalam kehidupan yang sesungguhnya. Untuk ini maka perlu dilakukan pengamatan dan monitoring lanjut terhadap kehidupan klien setelah kegiatan kelompok. Lebih resmi lagi dapat dilakukan wawancara tindak lanjut dengan setiap klien yang telah melaksanakan konseling kelompok itu. Wawancara itu dapat dilakukan tiga, enam, atau duabelas bulan sesudah konseling kelompok itu berakhir. Cara lain adalah dengan jalan mengadakan pertemuan pasca konseling. Pertemuan itu dapat dilakukan antara konselor dengan semua mantan anggota kelompok konseling itu.
5.      Teknik-teknik Konseling Kelompok Pendekatan Perilaku
Pendekatan konseling perilaku sudah berkembang luas, tidak sesempit batasan Skiner (Rosyidan, 1994:27). Memang ada konselor tardisional yang masih mendasarkan model konsleingnya semata-mata pada teknik yang berakar pada hukum-hukum belajar. Namun sebagian besar lainnya di samping menerapkan hukum-hukum belajar, juga memanfaatkan berbagai teknik pendekatan lain. Lazarus mengemukakan: “Dalam detil praktik kerja sehari-hari saya dengan klien, saya temukan perlunya meluaskan dasar konvensional dari terapi behavior”. Begitu pula halnya dengan Krumboltz dan Thoresen, mengatakan: “Tidak ada daftar teknik yang diterima untuk dipakai konselor yang menyebut dirinya konselor behavioral. Pintu harus tetap terbuka untuk semua prosedur yang mungkin berguna.” Teoretisi semacam ini bisa disebut behavioris eklektik, namun dasar operasi kerjanya tetap behavioral.
Teknik-teknik konseling dalam praktik pendekatan perilaku menurut Corey (1986:182-196) adalah (1) Relaxation Training and Related Methods, (2) Systematic Desensitization, (3) Token economies, (4) Forms of Punishment, (5) Modeling Methods, (6) Assertion Training, (7) Self-Management Programs and Self-Directed Behavior, (8) Multimodal Therapy. Sementara itu, Rosyidan (1994: 28-32) mengemukakan tentang teknik-teknik konseling dalam pendekatan perilaku sebagai berikut: 1) Memperkuat tingkah laku yang terdiri atas (a) shaping, (b) behavior contracts, (c) assertive training, 2) Modeling yang terdiri atas (d) proses mediasi, (e) live model dan symbolic model, (f) behavior rehearsal, (g) cognitive restructuring, (h) covert reinforcement, 3) Melemahkan tingkah laku yang terdiri atas (i) extinction, (j) reinforcing incompatible behavior, (k) relaxation training, (l) systematic desensitization, (m) satiation.
Dari dua pendapat di atas, disimpulkan dan jelaskan tentang teknik-teknik pendekatan perilaku sebagai berikut.

a.      Shaping

Shaping adalah mengajarkan tingkah laku dengan terus menerus melakukan aproksimasi dan membuat rantai hubungan. Tingkah laku yang tidak pernah dimunculkan tidak dapat direinfors. Karena itu dalam mengajarkan tingkah laku yang dikehendaki harus direinfors. Shaping dilakukan melalui sejumlah pendekatan berangsur, dimana dalam proses itu ada tingkah laku yang direinfors, ada yang tidak. Melalui aproksimasi ini tingkah laku seseorang secara bertahap menjadi didekati sehingga akhirnya dapat dibentuk tingkah laku yang diharap.
b.      Behavior Contracts
Syarat mutlak untu memantapkan kontrak behavioral adalah batasan yang cermat mengenai problem klien, situasi dimana hal itu diekspresikan, dan kesediaan klien untuk mencoba prosedur itu. Penting untuk merinci tugas yang harus ia lakukan. Kriteria sukses disebutkan dan reinforcement ditentukan. Kalau semuanya itu dilakukan, kontrak dapat dimantapkan melalui reinforcement yang cukup dekat dengan tugas dan kriterium yang diharapkan.
Beberapa saran yang perlu diperhatikan: (1) Nyatakan kontrak dalam kalimat positif, (2) Atur tugas dan kriteria yang memungkinkan dapat dicapai, (3) Beri penguat secepat mungkin, (4) Dorongan individu mengembangkan self-reinforcing, (5) Gunakan kontrak bertingkat (kontrak mengacu pada tugas, diikuti hadiah yang menimbulkan kontrak baru, diikuti pelaksanaan tugas, kotrak, dan seterusnya).
c.       Assertive Training
Assertive training menggunakan prosedur-prosedur permainan peranan. Misalnya, klien mengeluh bahwa ia sering merasa tertekan oleh orang tua yang menyuruh melakukan hal-hal yang ia nilai sebagai perbuatan yang tidak adil, dan bahwa ia pada umumnya mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang tuanya. Pertama, klien mengambil peranan sebagai orang tua sedangkan konselor menjadi model dari cara yang ia anggap klien lakukan terhadap orang tuanya. Kemudian mereka berganti peranan. Klien mencoba tingkah laku baru dan klien bertindak sebagai orang tua. Proses shaping terjadi bila tingkah laku baru mendekati yang sebenarnya.
Assertive training terutama dapat diterapkan pada situasi-situasi interpersonal, dimana individu yang mempunyai kesulitan-kesulitan perasaan sesuai atau tepat untuk menyatakannya. Assertive training dapat membantu  bagi orang-orang berikut ini: (1) mereka yang tidak dapat menyatakan kemarahan atau kejengkelan, (2) mereka yang sopan berlebihan dan membiarkan orang lain mengambil keuntungan dari padanya, (3) mereka yang mempunyai kesulitan untuk mengatakan “tidak”, (4) mereka yang sukar menyatakan kecintaan dan respon-respon positif lainnya, (5) mereka yang merasa tidak punya hak untuk menyatakan pikiran dan perasaannya.
d.      Proses Mediasi
Agar pengamat tingkah laku modeling meniru respon yang dikehendaki pada kondisi yang senada dengan stimulus yang diterima model, harus ada sistem mediasi dalam penyampaian dan pengungkapan kembali asosiasi antara stimulus itu dengan responnya dalam ingatan. Proses mediasi itu melibat empat aspek, yaitu: atensi, retensi, reproduksi motorik dan insentif.
Atensi pada respon model menjadi syarat mutlak belajar observasional. Retensi diperlukan dalam bentuk yang simbolik dan cukup baik, karena tingkah laku sosial mungkin baru dijumpai sesudah kurun waktu yang lama. Reproduksi motorik, berarti orang menerjemahkan kembali simbolik dalam bentuk tingkah laku, yang tidak selalu mudah apalagi khasanah respon itu jarang dipergunakan. Respon itu sendiri akhirnya hanya akan dipakai kalau ada insentif secukupnya bersamaan  atau sebagian konsekuensi dari emosinya.
e.       Live Model dan Symbolic Model
Live model adalah model hidup, bisa konselor atau orang lain. Live model dapat mengajarkan klien tingkah laku yang sesuai, pengaruh sikap dan nilai dan keahlian-keahlian kemasyarakatan. Dalam proses konseling ini, para konselor dapat mengajarkan hal-hal : penyingkapan diri, menghadapi resiko, keterbukaan, kejujuran, perasaan iba dan semacamnya. Konselor dapat mengajarkan rasa hormat, perasaan menerima orang lain, toleransi dan keberanian, dengan cara menjadikan diri model.
Symbolic model, tingkah laku-tingkah laku model ditunjukkan melalui film, video dan media rekaman lain. Symbolic model telah sukses digunakan sebagai model dalam berbagai situasi. Salah satu contohnya adalah para klien yang mengalami berbagai macam perasaan takut. Dengan cara mengamati model yang berhasil menemui situasi yang menyebabkan klien mengurangi atau membatasi perasaan takut tertentu.
f.        Behavior Rehearsal
Kebanyakan prosedur konseling behavioral menuntut latihan dalam bentuk gladi. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan klien mampu melakukan dan menampilkan tingkah laku yang dikehendaki dalam situasi nyata. Latihan tingkah laku dapat dikombinasikan dengan pendekatan behavioral lainnya, misalnya sebagai bagian dari proses shaping, atau sesudah presentai model. Seyogyanya behavioral rehearsal dilakukan  dalam suasana yang sangat mirip dengan lingkungan nyata klien. Teknik ini sangat baik untuk mengajarkan ketrampilan sosial. Dalam behavior rehearsal, klien tidak hanya tahu dan memahami apa yang harus dilakukan dan dikatakan, melainkan dapat mencoba dan mendapat koreksi melalui balikan dari konselor.
g.      Cognitive Restructuring
Proses kognitif yang terjadi di dalam diri individu seringkali mempunyai implikasi terhadap perubahan tingkah laku. Cognitif restructuring adalah proses menemukan dan menilai kognisi  seseorang, memahami dampak negatif pemikiran tertentu terhadap tingkah laku, dan belajar mengganti 
h.      Covert Reinforcement
Teknik ini irip dengan cognitive restructuring, yakni memakai imaji untuk menghadiahi diri sendiri. Klien diminta untuk memasangkan antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan sesuatu yang negatif, dan memamsangkan imaji sesuatu yang dikehendaki dengan imaji sesuatu yang ekstrim positif. Misalnya ia menikah dan membayangkan hidup bahagia dengan isteri dan anak-anaknya. Sekaligus ia juga diminta membayangkan tidak menikah, dan membayangkan dirinya sering melacur sampai bekakasnya busuk berbau, dan terkena AID.
i.        Extinction
Extinction merupakan prosedur untuk memperlemah hubungan stimulus respon dengan tujuan memperlemah perileku yang tidak dikehendaki. Klien yang tidak mengerjakan PR, diminta mengerjakan PR tersebut di papan tulis, apapun hasilnya, dan setelah itu ia diminta menjelaskan kepada teman-temannya. Dengan cara demikian, klien yang malas (perilaku yang tidak dikehendaki) diharapkan menjadi lebih rajin.
j.        Reinforcing Incompatible Behavior
Dengan memperkuat tingkah laku positif, tingkah laku negatif dapat dikurangi. Misalnya konselor ingin klien berbicara mengenai dirinya, maka setiap respon yang berisi pembicaraan mengenai diri sendiri direinforcers, dan pembicaraan yang tidak mengenai diri sendiri diabaikan. Dua tingkah laku yang bertentangan, yang satu positif-dikehendaki reinfors, yang satu negatif dan akan dihilangkan dengan dianggap tidak ada. Hasilnya,m tingkah laku negatif semakin berkurang/jarang muncul.
k.      Relaxation Training
Latihan relaksasi merupakan teknik untuk mengajar seseorang untuk menangani stress yang dihasilkan oleh kehidupan sehari-hari dengan dengan cara melakukan relaksasi (santai, pengendoran otot-otot). Tujuannya adalah agar otot-otot menjadi kendor dan mental menjadi santai sehingga klien mejadi segar kembali. Setelah klien mempelajari dasar-dasar dari prosedur relaksasi, maka hal yang esensial adalah bahwa mereka mempraktikkan latihan-latihan relaksasi setiap hari agar bisa memperoleh hasil yang maksimal.
Latihan relaksasi dapat dilakukan untuk seluruh otot-otot tubuh jika klien memang mengalami ketegangan yang menyeluruh, tetapi dapat pula dilakukan dengan relaksasi pada otot-otot tubuh tertentu jika yang mengalami ketegangan hanya otot-otot bagian tubuh tertentu. Yang pertama disebut sebagai progressive relaxation, dan yang kedua disebut disebut scanning relaxation.
l.        Systematic Desensitization
Desensitisasi sistematik menunjukkan prosedur eksperimental untuk mengurangi kecemasan dengan perasaan santai, yang dilaksanakan dengan cara (1) memeperkuat hubungan respon baru dengan stimulus yang menimbulkan tingkah laku malasuai, (2) memperlemah hubungan respon dengan stimulus. Teknik desensitisasi sistematik dilakukan dengan tiga tahapan:
(1)    latihan santai bagi otot-otot (relaksasi dan/atau hipnosis)
(2)    menyusun tahapan
(3)    mengaplikasikan desensitisasi, yaitu menghilangkan tahapan kecemasan (anxiety) secara berangsur-angsur sambil melatih respon yang santai.
Prosedur ini berlangsung hingga enam kali pertemuan. Selama periode santai, pembentukan tahapan (hierarchi) dimulai, yang tampaknya sederhana, tetapi sebenarnya sulit.
Pembentukan tahapan kecemasan itu dilakukan dengan empat cara, yaitu (a) case history klien, (b) angket, (c) menggunakan fear survey schedule, (d) penelitian yang mendalam secara khusus tentang berbagai kesulitan yang dihadapinya (Dahlan, 1985:69). Prosedur desensitisasi sistematik dimulai apabila latihan relaksasi dan pembentukan tahapan itu dipenuhi.
m.    Satiation
Proses memberi reinforcement yang berlebihan sehingga justru kehilangan nilainya sebagai penguat, atau bahkan kemudia bernilai sebaliknya. Satiation dapat dilakukan dengan membanjiri klien dengan stimulus yang sama sehingga reinforcement menjadi tidak bertahap, atau dengan terus menerus memberikan reinforcement sampai respon malahan tidak dilakukan lagi. Teknik ini sama dengan cara nglulu terhadap tingkah laku yang tidak dikehendaki.
n.      Token Econimies
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila persetujuan dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan pengaruh. Dalam teknik ini, tingkah laku yang layak bisa diperkuat dengan penguat-penguat yang bisa diraba (tanda-tanda seperti voucher) yang nantinya dapat ditukar dengan objek-objek atau hak istimewa yang diingin. Teknik ini sangat mirip dengan yang dijumpai dalam kehidupan nyata, misalnya para pekrja dibayar untuk hasil pekerjaan mereka. Penggunaan tanda-tanda sebagai penguat bagi tingkaj laku yang layak memeiliki beberapa keuntungan : (1) tanda-tanda tidak kehilangan nilai insentifnya, (2) tanda-tanda bisa mengurangi penundaan yang ada di antara tingkah laku yang sesuai dengan ganjarannya, (3) tanda-tanda bisa digunakan sebagai pengukur yang kongkrit bagi motivasi individu untuk mengubah tingkah laku tertentu, (4) tanda-tanda adalah bentuk penguatan yang positif, (5) individu mempunyai kesempatan untuk memutuskan bagaimana menggunakan tanda-tanda yang diperolehnya, dan (6) tanda-tanda cenderung menjembatani kesenjangan yang sering muncul di antara lembaga dan kehidupan sehari-hari.
o.      Forms of Punishment
Hukuman merupakan intervensi dari kondisioning-operan yang digunakan oleh konselor behavoral untuk mengurangi perilaku yang tidak dikehendaki. Teknik ini dilakukan dengan cara pemberian sesuatu yang tidak menyenangkan atau stimulus yang tidak disukai sebagai akibat klien bertingkah laku yang tidak dikehendaki. Skiner percaya bahwa hukuman tersebut sering memberikan pengaruh terhadap perilaku yang dikira tidak dikehendaki itu; karena itu, perilaku yang tidak dikehendaki dapat dikendalikan dengan mengurangi kecenderungan respon klien.
p.      Self –Management Programs and Self-Directed Behavior
Dalam program mengelola dan mengarahkan perilaku diri sendiri ini klien mengambil keputusan tentang hal yang berhubungan dengan prilaku khusus yang ingin dikendalikan atau diubah. Contoh yang umum di antaranya ialah mengatur jadwal kegiatan secara disiplin diri, pengendalian merokok, pengendalian untuk berbicara yang baik-baik dan tidak menyakiti hati orang lain, mengatur pola makan agar sehat dan tidak kegemukan. Seringkali klien menemukan bahwa alasan utama dari perilakunya yang tidak bisa mencapai sasaran adalah tidak dimilikinya keterampilan mengelola dan mengarahkan diri. Dalam kawasan seperti itulah pendekatan pengarahan sendiri bisa memberikan garis besar bagaimana bisa didapat perubahan dan sebuah rencana yang akan membawa ke arah perubahan.
Cormier dan Cormier (1985:520, dalam Corey 1995:431-432) menyebutkan ada lima ciri dari program pengelolaan dan pengarahan diri yang efektif, yaitu:
(1)     Kombinasi dari strategi mengelola diri sendiri biasanya lebih berguna daripada hanya sebuah strategi tunggal
(2)     Penggunaan strategi yang konsisten adalah esensial
(3)     Perlu ditetapkan seperangkat sasaran yang realistis dan kemudian dievaluasi tingkatan seberapa yang bisa diraih dari sasaran itu
(4)     Penggunaan penguatan diri sendiri merupakan komponen yang penting dari program mengelola diri sendiri
(5)     Tunjangan yang diberikan oleh lingkungan harus ada untuk tetap dipertahankannya perubahan yang telah terjadi sebagai hasil dari program mengelola diri sendiri.
q.      Multimodal Therapy
Teknik ini dikembangkan oleh Lazarus secara komprehensif, sistematik dan holistik. Terapi ini adalah suatu sistem yang terbuka dan mendorong adanya eklektisisme teknik. Teknik ini tidak dipergunakan secara sembarangan. Para konselor multimodal selalu bertanya: “Siapa dan apa yang paling baik klien yang satu ini?” Jadi, para konselor sangat berhati-hati untuk tidak memasukkan klien yang bersifat unik dalam program penanganan yang sudah ditentukan sebelumnya. Melainkan, diusahakan secara cermat untuk menetapkan secara tepat hubungan dan strategi pengananan apa yang akan berfungsi paling baik terhadap setiap klien dan dalam keadaan khusus yang bagaimana. Asumsi yang mendasari pendekatan ini adalah bahwa oleh karena seorang individu mengalami kesulitan yang disebabkan oleh problema khas yang dihadapi, maka dianggap hal yang tepat kalau strategi penanganan ganda digunakan untuk mendapatkan perubahan. Konselor multimodal terus menerus menyesuaikan prosedurnya untuk bisa mencapai sasaran klien dalam konseling.
Dari penjelasan tentang berbagai teknik di atas, kita pahami bahwa terapi konseling kelompok perilaku sangat kaya dibandingkan dengan pendekatan yang lain. Konselor dapat memilih teknik sesuai dengan masalah dan keterampilan dirinya.  
6.      Peranan Konselor Dalam Konseling Kelompok Pendekatan Perilaku
Para behavioris dalam beberapa hal berfungsi seperti ahli klinis yang lain, mereka menaruh perhatian dari petunjuk klien serta ada kemauan untuk mengikuti intuisi klinis mereka. Mereka menggunakan teknik rangkuman, refleksi, penjelasan, pertanyaan berakhir dengan terbuka. Tetapi ada dua fungsi yang membedakan pelaku klinis behavioral : mereka memfokuskan pada hal-hal yang khas, dan secara sistematis berusaha untuk mendapatkan informasi tentang anteseden situasional, dimensi dari perilaku bermasalah, dan konsekuensi dari masalah itu ( Goldfried dan Davison dalam Mulyarto, 1995 : 419)
Sementara itu Rosjidan (1994 : 20) mengemukakan bahwa para konselor behavioral harus mengasumsikan adanya peranan aktif, direktif dalam treatment, karena mereka menerapkan pengetahuan ilmiah pada penemuan solusi-solusi pada permasalahan yang dihadapi manusia. Konselor behavioral secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosa tingkah laku yang tidak tepat dan dalam menentukan prosedur-prosedur yang diharapkan, mengarah pada tingkah laku baru dan lebih baik.
Fungsi penting lain adalah peran modeling konselor untuk klien. Bandura (dalam Rosjidan 1994 :20 ) menunjukkan bahwa sebagian besar belajar yang terjadi melalui pengalaman  langsung dapat juga diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah laku orang lain. Dia menambahkan bahwa salah satu dari proses-proses yang mendasar dimana klien mempelajari tingkah laku baru adalah melalui peniruan, atau modeling sosial yang diberikan oleh konselor. Konselor sebagai seorang individu menjadi role model yang penting. Karena klien sering memandang konsleor sebagai worthy emulation, maka klien meniru sikap-sikap, nilai-nilai kepercayaan, dan tingkah laku konselor. Dengan demikian, konselor harus sadar tentang peran penting yang mereka mainkan dalam proses pengidentifikasian. Bagi konselor yang tidak menyadari kekuatan yang mereka miliki dalam mempengaruhi dan membentuk cara berfikir dan bertingkah laku klien, membuat mereka mengingkari pentingnya kepribadian mereka sendiri dalam proses terapetik. Bagi konselor, peran dan fungsi yang paling berat adalah menjadi model bagi klien.
7.      Kritik Terhadap Pendekatan Perilaku Dalam Konseling Kelompok di Sekolah
Corey (1986:199-201; 1995:443-446) mengemukakan adanya lima kritikan yang umum dan konsepsi yang keliru yang sering dilakukan seseorang mengenai terapi perilaku.
Kritikan pertama : terapi perilaku mungkin mengubah perilaku, tetapi tidak mengubah perasaan. Para praktisi behavioral biasanya berpendapat bahwa apabila klien bisa mengubah perilaku mereka, ada kemungkinan mereka juga akan mengubah perasaannya. Mereka berpendapat bahwa bukti empiris tidak menciptakan kritik bahwa perasaan haruslah lebih dahulu diubah. Meskipun mereka tidak mengutamakan pemfokusan pada perasaan, dalam praktik yang sebenarnya para praktisi memang berurusan dengan perasaan sebagai bagian keseluruhan dari proses konseling behavioral.
Kritikan kedua : terapi perilaku mengabaikan faktor rasional yang penting dalam terapi. Kritikan ini sering dilakukan dengan mengatakan bahwa dalam pendekatan perilaku pentingnya hubungan antara klien dan konselor dikurangi. Meskipun kelihatannya benar bahwa konselor behavioral tidak mengutamakan variabel hubungan, ini tidak berarti bahwa pendekatan ini terpaku pada tingkat pemfungsian yang mekanis dan tidak humanistik. Seperti yang telah kita lihat, konselor behavioral berkeyakinan bahwa hubungan kerja yang baik dengan klien merupakan landasan dasar yang harus ada agar penggunaan teknik bisa menjadi efektif. Hal ini ditegaskan oleh Lazarus dan Fay (1984), “Hubungan konselor dengan klien adalah tanah tempat teknik itu bisa menancapkan akarnya.”
Kritikan ketiga : terapi perilaku tidak menyediakan pemahaman. Apabila kritikan ini memang benar, para teoretisi modifikasi perilaku mungkin akan memberikan tanggapannya bahwa pemahaman sebenarnya tidaklah perlu. Mereka akan mengatakan bahwa mereka tidak memfokuskan pada pemahaman oleh karena tidak adanya bukti yang jelas bahwa pemahaman tidak menimbulkan krisis pada hasil akhir dari suatu konseling perilaku. Perilaku itu diubah secara langsung. Apabila sasaran untuk mendapatkan pemahaman merupakan perubahan akhir dari perilaku, maka terapi perilaku, yang telah membuktikan hasil, memiliki efek yang sama. Lebih-lebih lagi perubahan perilaku seringkali akan membawa perubahan dalam pemahaman; ini merupakan jalan jalur ganda. Namun, banyak orang yang ingin tidak hanya mengubah perilaku tetapi juga mendapatkan pemahaman mengapa mereka berperilaku seperti yang ia lakukan.
Kritikan keempat : terapi perilaku mengabaikan penyebab historis dari perilaku yang ada sekarang. Hubungan antara penyebab historis dengan perilaku yang ada sekarang adalah asumsi psikoanalitik yang cenderung deterministik. Para konselor perilaku mungkin mengakui bahwa tanggapan yang menyimpang dari kebiasaan umum ada akar historisnya, tetapi mereka berpendapat bahwa sejarah jarang menjadi faktor yang penting untuk mempertahankan masalah yang ada sekarang. Jadi, pendekatan perilaku memfokuskan pada pemberian kesempatan kepada klien untuk mempelajari hal-hal baru yang dibutuhkan secara efektif untuk menangani perilakunya yang bermasalah.
Kritikan kelima : terapi perilaku menyangkut pula kontrol dan manipulasi dari konselor.  Orang sering mengatakan kecemasannya tentang kekuasan para konselor perilaku untuk melakukan kontrol terhadap perilaku klien. Beberapa orang merasa kahawatir akan kekuasaan konselor perilaku untuk membentuk dan mengarahkan nilai, dan perilaku klien. Konselor perilaku sering dikritik telah merampas kebebasan serta otonomi perilaku klien. Spiegler (1983) menanggapi kritikan ini dengan mengemukakan dalih bahwa setelah konseling perilaku yang berhasil, maka klien bisa meningkatkan jumlah alternatif dan menambah cara berperilaku daripada sebelum konseling. Pada akhirnya, klien menentukan sendiri perilaku mana yang dikehendaki dan mana yang tidak dikehendaki, dan oleh karenanya klien memiliki kebebasan dan otonomi dalam menentukan perilaku yang akan dilakukannya.

Daftar Pustaka

Corey, G. (1986). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. 3rd Edition. Monterey California: Brooks/Cole Publishing Company.

--------. (1995). Teori dan Praktik dari Konseling dan Psikoterapi. Cetakan pertama. Terjemahan Mulyarto. Semarang: IKIP Semarang Press.
Dahlan, M.D. (1985). Beberapa Pendekatan Dalam Penyuluhan (Konseling). Bandung: Diponegoro.
Gladding, S.T. (1995). Group Work: A Counseling Specialty. 2nd Edition. Englewood Cliffs, Nem Jersey: Prentice Hall
Gunarsa, S.D. (1992). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
John, R.N. (1995). The Theory and Practice of Counseling. London: Cassell.
Koswara, E. (1991). Teori-teori Kepribadian. Bandung: Eresco.
Natawidjaja, R. (1987). Pendekatan-pendekatan Dalam Penyuluhan Kelompok I. Bandung: Diponegoro.
Prayitno. (1995). Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok (Dasar dan Profil). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Reilly, R.R. & Lewis, E.R. (1983). Educational Psychology, Application for Classroom Learning and Instruction. New York: Macmillan Publishing Co. Inc.
Rosyidan. Ed. (1994). Pendekatan-pendekatan Modern Dalam Konseling. Malang: Jurusan PPB FIP IKIP Malang.
Ulmann, L.P. & Krasner, L. Ed. (1965). Case Studies in Behavior Modification. New York: Holt, Reinhart and Winston, Inc.

Sumber

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money